Saturday, 22 November 2014

BUAT IQBAL KHADIAT SYAM



Komplotan Baru

6 September 2010, tanggal, bulan dan tahun yang menjadi saksi bisu gua masuk hari pertama perkuliahan. Gua nggak tahu harus berbuat apa saat pertama kali gua menginjakkan kaki di kelas yang banyak makhluk-makhluk aneh. Karena saat itu, kelas seperti dihuni para anak kecil yang khusuk dengan mainannya sendiri-sendiri. Jujur, gua adalah orang yang paling nggak percaya diri saat berkenalan dengan lingkungan baru. Gua pun akan melakukan hal yang sama kalau saja gua sudah duduk manis di kelas.
Gua masih terdiam di pintu kelas, lirik-lirik sekitar, dan mereka semua pun melirik sama gua. Gua seperti mangsa dari seekor harimau yang bercelana katun dan berkemeja, ada juga yang berkerudung dan berrok. Kalau dimangsa sama yang berkerudung sih nggak apa-apa, namun harapan itu sirna saat semuanya tertunduk dan khusuk kembali dengan mainannya. “Mana yang cantiknya ya?” gua bertanya-tanya dalam hati. Setelah menemukan sesuatu yang berbeda di dalam kelas, maksudnya yang cantik, gua pun mencoba mencari tempat duduk yang paling dekat dengannya. Karena ketidak percaya dirian gua muncul, gua batalkan rencana itu. “Tenang saja lah, masih hari pertama ko” gua mencoba menyusun rencana selanjutnya. Kelas pun akan segera dimulai, karena telah menunjukkan waktu yang sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh pemerintah kampus.
Mata kuliah pada jam pertama ini adalah mata kuliah “Dictation”, gua nggak tahu apa maksud dari mata kuliah ini
Sebuah komplotan sudah menjadi hal yang wajar bagi mahasiswa dan mahasiswi. Gua pun mendirikan sebuah komplotan baru di tempat yang baru pula buat gua. Di dalam komplotan tersebut, beranggotakan tiga orang, yaitu gua, Iqbal dan Akbar. Kita bertiga sepakat, tidak ada ketua dan semua adalah anggota, jadi setiap dari kita bisa saling koreksi satu sama lainnya. Memang benar, selama beberapa hari kedepan, dalam komplotan kita, tidak ada yang namanya ketua, yang ada hanya ketuaan. Iqbal adalah orang yang kami maksud.
Dia orang pribumi, tinggalnya di Ujung Berung (jauh ya! Di ujung). Orangnya tinggi, tapi tipis alias langsing atau lebih tepatnya lagi cungkring, kalau istilah dari sekitar gua sih, jadi… jangkis, jangkung (bahasa sunda yang artinya tinggi) tipis. Usianya setahun lebih tua dari gua dan Akbar, tetapi kelakuannya kaya orang tua (???). Eh! memang iya ya, kalau udah tua kelakuannya kaya orang tua. Hehehe…
Bukan itu yang gua maksud, maksud gua, kelakuannya berbanding terbalik dengan usianya. Kalau gua sih ya never mind saja, soalnya usia dengan kelakuan gua me-ra-ta. Tetapi gua maklum saja sih, kelakuan kan bagaimana pergaulannya. Nah kalau pergaulan, bagaimana lingkungannya, iya kan?
Mungkin karena dia sering bersilaturahmi dengan kami, yang memang seperti anak-anak, dia terbawa arus pergaulan sekitarnya. Jadi ya maklum saja lah, kalau dia bertingkah seperti anak-anak. Karena kata ibunya, “Dia anak saya!.” Kenyataan kan! Ternyata dia juga masih anak-anak, jadi tidak ada masalah kalau dia seperti anak-anak.

No comments:

Post a Comment