Komplotan Baru
6 September 2010, tanggal,
bulan dan tahun yang menjadi saksi bisu gua masuk hari pertama perkuliahan. Gua
nggak tahu harus berbuat apa saat pertama kali gua menginjakkan kaki di kelas
yang banyak makhluk-makhluk aneh. Karena saat itu, kelas seperti dihuni para
anak kecil yang khusuk dengan mainannya sendiri-sendiri. Jujur, gua adalah
orang yang paling nggak percaya diri saat berkenalan dengan lingkungan baru.
Gua pun akan melakukan hal yang sama kalau saja gua sudah duduk manis di kelas.
Gua masih terdiam di
pintu kelas, lirik-lirik sekitar, dan mereka semua pun melirik sama gua. Gua seperti
mangsa dari seekor harimau yang bercelana katun dan berkemeja, ada juga yang
berkerudung dan berrok. Kalau dimangsa sama yang berkerudung sih nggak apa-apa,
namun harapan itu sirna saat semuanya tertunduk dan khusuk kembali dengan
mainannya. “Mana yang cantiknya ya?” gua bertanya-tanya dalam hati. Setelah
menemukan sesuatu yang berbeda di dalam kelas, maksudnya yang cantik, gua pun
mencoba mencari tempat duduk yang paling dekat dengannya. Karena ketidak percaya
dirian gua muncul, gua batalkan rencana itu. “Tenang saja lah, masih hari
pertama ko” gua mencoba menyusun rencana selanjutnya. Kelas pun akan segera
dimulai, karena telah menunjukkan waktu yang sesuai dengan jadwal yang sudah
dibuat oleh pemerintah kampus.
Mata kuliah pada jam
pertama ini adalah mata kuliah “Dictation”, gua nggak tahu apa maksud dari mata
kuliah ini
Sebuah komplotan sudah
menjadi hal yang wajar bagi mahasiswa dan mahasiswi. Gua pun mendirikan sebuah
komplotan baru di tempat yang baru pula buat gua. Di dalam komplotan tersebut,
beranggotakan tiga orang, yaitu gua, Iqbal dan Akbar. Kita bertiga sepakat,
tidak ada ketua dan semua adalah anggota, jadi setiap dari kita bisa saling
koreksi satu sama lainnya. Memang benar, selama beberapa hari kedepan, dalam
komplotan kita, tidak ada yang namanya ketua, yang ada hanya ketuaan. Iqbal
adalah orang yang kami maksud.
Dia orang pribumi,
tinggalnya di Ujung Berung (jauh ya! Di ujung). Orangnya tinggi, tapi tipis
alias langsing atau lebih tepatnya lagi cungkring, kalau istilah dari sekitar
gua sih, jadi… jangkis, jangkung (bahasa sunda yang artinya tinggi) tipis.
Usianya setahun lebih tua dari gua dan Akbar, tetapi kelakuannya kaya orang tua
(???). Eh! memang iya ya, kalau udah tua kelakuannya kaya orang tua. Hehehe…
Bukan itu yang gua
maksud, maksud gua, kelakuannya berbanding terbalik dengan usianya. Kalau gua
sih ya never mind saja, soalnya usia
dengan kelakuan gua me-ra-ta. Tetapi gua maklum saja sih, kelakuan kan
bagaimana pergaulannya. Nah kalau pergaulan, bagaimana lingkungannya, iya kan?
Mungkin karena dia
sering bersilaturahmi dengan kami, yang memang seperti anak-anak, dia terbawa arus
pergaulan sekitarnya. Jadi ya maklum saja lah, kalau dia bertingkah seperti
anak-anak. Karena kata ibunya, “Dia anak saya!.” Kenyataan kan! Ternyata dia
juga masih anak-anak, jadi tidak ada masalah kalau dia seperti anak-anak.
No comments:
Post a Comment