TERIMA
KASIH TUHAN
Allaahu akbar, Allaahu
akbar, Allaahu akbar
Laa illa ha illa
Allahu, Allaahu akbar
Allaahu akbar,
walillaahilham…
Waktu menunjukkan pukul
empat lebih lima belas menit saat itu, aku pun terbangun dan menuruskan
langkahku menuju sumber air yang ada di rumahku. Tempatnya lumayan luas,
mungkin sekitar 2 meter ke 2 meter. Setiap anggota keluargaku sangat menjaganya
dengan baik, setiap hari ada jadwal untuk membersihkannya. Karena jika kamar
mandi ini kotor, ibu tidak akan segan menegur anggota keluarga yang piket saat
itu, dan tidak terkecuali semua anggota yang lain.
Udaranya sangat menusuk
sampai tulangku, betapa dinginnya saat itu. Namun aku tidak akan menyerah
dengan sedingin apa pun untuk bisa meraih air wudlu. Tidak lama setelah aku
berwudlu, adzan shubuh pun berkumandang dari masjid terdekat dengan rumahku
yang hanya terhalang oleh lapangan badminton saja. Jika aku keluar rumah,
bangunan besar yang berkubalah yang pertama aku lihat. Memang, bangunan ini
sangat dekat dengan tempat bernaungku. Maka dari itu, aku selalu terbangunkan
setiap adzan shubuh berkumandang, walau jarang berjamaah di dalamnya, tapi aku hampir
tidak pernah telat saat waktu shubuh menyapa.
Setelah berwudlu, aku
ambil mukena dan sejadahku yang ada di lemari kebanggaanku. Disinilah tempat aku
menyimpan barang-barang yang bisa dibilang memiliki sejarah tersendiri, lihat
saja, jaket pemberian pacarku saat ulang tahun terakhirku kemarin. Dan satu hal
yang aku ingin ingatkan kepada kita semua. Sejarah memang tidak bisa dilepaskan
dari kehidupan semua orang, termasuk sejarah seorang kekasih Allah yang
bermimpi diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri, namun Allah
menggantinya dengan seekor domba, yang hingga kini semua umat muslim menyebut
peristiwa ini dengan sebutan idul adha atau idul qurban.
Oh iya aku lupa, ini
aku, namaku Sandi Mustika, aku adalah si cikal
(anak pertama) dari tiga bersaudara. Ibu dan ayah sering memanggilku dengan
sebutan Ika. Jadi, panggil saja aku Sandi, karena kalau Ika, itu adalah sebutan
khusus untuk keluargaku. Aku berbadan lumayan tinggi dan langsing, tinggiku sekitar
170 cm dan beratku sekitar 45 kg. Untuk ukuran perempuan memang sangat tinggi,
namun aku senang, karena pacarku merasa ia sedang berpacaran dengan model papan
atas. Ya sudahlah, itu cuma untuk perkenalan saja.
Tidak lama setelah aku
selesai menunaikan ibadah sholat shubuh di kamarku, tiba-tiba ada yang mengetuk
pintu kamarku, oh ternyata itu adalah ayah, yang mengajak segera ke masjid untuk
menunaikan ibadah sholat sunnah idul adha. Aku segera bangkit dari dudukku yang
masih memegang kitab suci al-quran. Lalu aku menengok jam dinding yang
menunjukkan pukul lima lewat lima kemudian menyimpan al-quran diatas meja
belajarku, serta aku melipat sejadah untukku persiapkan menuju tempat yang
penuh barokah.
Di tempat itu ternyata
kebanyakan warga sudah memadati setiap tempat duduknya, dari mulai anak-anak,
remaja, dan tidak ketinggalan orang-orang yang beruban. Aku sangat bangga saat
melihat nenek-nenek itu berbaris di barisan paling depan. Dan aku berharap, aku
pun bisa taat sampai aku seperti mereka, sekarang, aku hanya bisa memanjatkan doa
kepada-Nya.
Aku melihat ada satu
tempat yang belum terisi, bersegeralah diriku menuju tempat itu. Dan akhirnya
aku bisa duduk dengan nyaman diantara ibu-ibu dan nenek-nenek, namun bukan
berarti aku duduk di barisan paling depan. Aku duduk di barisan ketiga dari
belakang, dan saat itu aku hitung sekitar ada tujuh sampai delapan baris untuk
barisan perempuan.
“Sholat idul adha teh, sami
wae sareng sholat idul fitri. Anu benteuna mah, niatna hungkul” pemandu sholat
menjelaskan tentang tata cara sholat idul adha, yang artinya “Sholat idul adha
itu, sama dengan sholat idul fitri. Yang membedakannya cuma dari niatnya saja” Dan
aku pun langsung mengerti bagaimana tata cara sholat idul adha ini dilakukan,
karena yang berbeda hanyalah mengganti niatnya saja.
Allahu
Akbar… Allahu Akbar… Assalamu’alaikum Warohmatullah
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarokatuh
Selesai sudah aku
menunaikan ibadah sholat sunnah idul adha, dan khutbah dari khotibnya pun
sangat menyentuh hati, yang menceritakan betapa beratnya sang ayah mengorbankan
anaknya hanya karena menerima mimpi yang tidak tahu kebenarannya. Aku hanya
bisa bertanya-tanya dalam diriku, apa yang sudah aku korbankan untuk agamaku
ini!?
Waktu sholat pun sering
aku tunda-tunda, karena terus merasa sibuk dengan perkuliahan dan
tugas-tugasnya. Padahal, mengerjakan sholat itu cuma membutuhkan waktu lima
menit saja, tetapi mengapa sangat berat untuk beranjak dari kesibukan sebantar
saja. Dari sekarang aku sadar, aku hanya bisa sibuk dengan diriku sendiri,
dengan-Nya? Atau dengan orang-orang sekitar? Tidak tau lah. Saat itulah, aku
berjanji akan berkorban mulai dari yang terkecil untuk kepercayaanku.
Sesi mengoreksi diri
pun selesai sudah, sekarang saatnya melihat banyak orang-orang yang berkumpul
di lapangan badminton yang diantara mesjid dan rumahku untuk menyembelih hewan
qurban. Aku hanya
bisa menyaksikan bagaimana lincahnya para jagal (orang yang ahli menyembelih)
memotong hewan qurban. Setelah hewan-hewan itu dipotong, baru aku turun tangan
untuk membersihkan hewan-hewan itu dari darah dan kotoran yang ada dalam hewan
tersebut, supaya bisa segera dipotong-potong dan dibagikan kepada yang berhak
menerimanya.
Aku terharu melihat
orang-orang mengantri untuk mengambil bagiannya. Mereka sangat berniat dan rela
berdesakan untuk mendapatkan daging yang mungkin sekilo pun tidak. banyak
pelajaran yang bisa aku ambil saat idul adha tiba, diantaranya, aku bisa
bersyukur atas nikmat-Nya, karena aku bisa berkesempatan mencicipi walau sepotong
daging di selain hari qurban, bagi mereka? Mungkin tidak.
Satu yang aku terus ingat
saat idul qurban, yaitu bisa berbagi dengan sesama walau pun aku belum bisa mempersembahkan
hewan qurban untuk mereka yang selalu ceria walau terus berdesakan saat
pengambilan hewan qurban tiba. Tidak masalah bajuku berlumuran darah serta
tanganku kotor oleh kotoran hewan-hewan itu, yang terpenting aku bisa berbagi
dengan mereka yang antusias menunggunya.