Sunday, 12 October 2014

THANKS GOD


TERIMA KASIH TUHAN

Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar
Laa illa ha illa Allahu, Allaahu akbar
Allaahu akbar, walillaahilham…

Waktu menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit saat itu, aku pun terbangun dan menuruskan langkahku menuju sumber air yang ada di rumahku. Tempatnya lumayan luas, mungkin sekitar 2 meter ke 2 meter. Setiap anggota keluargaku sangat menjaganya dengan baik, setiap hari ada jadwal untuk membersihkannya. Karena jika kamar mandi ini kotor, ibu tidak akan segan menegur anggota keluarga yang piket saat itu, dan tidak terkecuali semua anggota yang lain.
Udaranya sangat menusuk sampai tulangku, betapa dinginnya saat itu. Namun aku tidak akan menyerah dengan sedingin apa pun untuk bisa meraih air wudlu. Tidak lama setelah aku berwudlu, adzan shubuh pun berkumandang dari masjid terdekat dengan rumahku yang hanya terhalang oleh lapangan badminton saja. Jika aku keluar rumah, bangunan besar yang berkubalah yang pertama aku lihat. Memang, bangunan ini sangat dekat dengan tempat bernaungku. Maka dari itu, aku selalu terbangunkan setiap adzan shubuh berkumandang, walau jarang berjamaah di dalamnya, tapi aku hampir tidak pernah telat saat waktu shubuh menyapa.
Setelah berwudlu, aku ambil mukena dan sejadahku yang ada di lemari kebanggaanku. Disinilah tempat aku menyimpan barang-barang yang bisa dibilang memiliki sejarah tersendiri, lihat saja, jaket pemberian pacarku saat ulang tahun terakhirku kemarin. Dan satu hal yang aku ingin ingatkan kepada kita semua. Sejarah memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan semua orang, termasuk sejarah seorang kekasih Allah yang bermimpi diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri, namun Allah menggantinya dengan seekor domba, yang hingga kini semua umat muslim menyebut peristiwa ini dengan sebutan idul adha atau idul qurban.
Oh iya aku lupa, ini aku, namaku Sandi Mustika, aku adalah si cikal (anak pertama) dari tiga bersaudara. Ibu dan ayah sering memanggilku dengan sebutan Ika. Jadi, panggil saja aku Sandi, karena kalau Ika, itu adalah sebutan khusus untuk keluargaku. Aku berbadan lumayan tinggi dan langsing, tinggiku sekitar 170 cm dan beratku sekitar 45 kg. Untuk ukuran perempuan memang sangat tinggi, namun aku senang, karena pacarku merasa ia sedang berpacaran dengan model papan atas. Ya sudahlah, itu cuma untuk perkenalan saja.
Tidak lama setelah aku selesai menunaikan ibadah sholat shubuh di kamarku, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku, oh ternyata itu adalah ayah, yang mengajak segera ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat sunnah idul adha. Aku segera bangkit dari dudukku yang masih memegang kitab suci al-quran. Lalu aku menengok jam dinding yang menunjukkan pukul lima lewat lima kemudian menyimpan al-quran diatas meja belajarku, serta aku melipat sejadah untukku persiapkan menuju tempat yang penuh barokah.
Di tempat itu ternyata kebanyakan warga sudah memadati setiap tempat duduknya, dari mulai anak-anak, remaja, dan tidak ketinggalan orang-orang yang beruban. Aku sangat bangga saat melihat nenek-nenek itu berbaris di barisan paling depan. Dan aku berharap, aku pun bisa taat sampai aku seperti mereka, sekarang, aku hanya bisa memanjatkan doa kepada-Nya.
Aku melihat ada satu tempat yang belum terisi, bersegeralah diriku menuju tempat itu. Dan akhirnya aku bisa duduk dengan nyaman diantara ibu-ibu dan nenek-nenek, namun bukan berarti aku duduk di barisan paling depan. Aku duduk di barisan ketiga dari belakang, dan saat itu aku hitung sekitar ada tujuh sampai delapan baris untuk barisan perempuan.
“Sholat idul adha teh, sami wae sareng sholat idul fitri. Anu benteuna mah, niatna hungkul” pemandu sholat menjelaskan tentang tata cara sholat idul adha, yang artinya “Sholat idul adha itu, sama dengan sholat idul fitri. Yang membedakannya cuma dari niatnya saja” Dan aku pun langsung mengerti bagaimana tata cara sholat idul adha ini dilakukan, karena yang berbeda hanyalah mengganti niatnya saja.

Allahu Akbar… Allahu Akbar… Assalamu’alaikum Warohmatullah
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Selesai sudah aku menunaikan ibadah sholat sunnah idul adha, dan khutbah dari khotibnya pun sangat menyentuh hati, yang menceritakan betapa beratnya sang ayah mengorbankan anaknya hanya karena menerima mimpi yang tidak tahu kebenarannya. Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam diriku, apa yang sudah aku korbankan untuk agamaku ini!?
Waktu sholat pun sering aku tunda-tunda, karena terus merasa sibuk dengan perkuliahan dan tugas-tugasnya. Padahal, mengerjakan sholat itu cuma membutuhkan waktu lima menit saja, tetapi mengapa sangat berat untuk beranjak dari kesibukan sebantar saja. Dari sekarang aku sadar, aku hanya bisa sibuk dengan diriku sendiri, dengan-Nya? Atau dengan orang-orang sekitar? Tidak tau lah. Saat itulah, aku berjanji akan berkorban mulai dari yang terkecil untuk kepercayaanku.
Sesi mengoreksi diri pun selesai sudah, sekarang saatnya melihat banyak orang-orang yang berkumpul di lapangan badminton yang diantara mesjid dan rumahku untuk menyembelih hewan qurban. Aku hanya bisa menyaksikan bagaimana lincahnya para jagal (orang yang ahli menyembelih) memotong hewan qurban. Setelah hewan-hewan itu dipotong, baru aku turun tangan untuk membersihkan hewan-hewan itu dari darah dan kotoran yang ada dalam hewan tersebut, supaya bisa segera dipotong-potong dan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
Aku terharu melihat orang-orang mengantri untuk mengambil bagiannya. Mereka sangat berniat dan rela berdesakan untuk mendapatkan daging yang mungkin sekilo pun tidak. banyak pelajaran yang bisa aku ambil saat idul adha tiba, diantaranya, aku bisa bersyukur atas nikmat-Nya, karena aku bisa berkesempatan mencicipi walau sepotong daging di selain hari qurban, bagi mereka? Mungkin tidak.
Satu yang aku terus ingat saat idul qurban, yaitu bisa berbagi dengan sesama walau pun aku belum bisa mempersembahkan hewan qurban untuk mereka yang selalu ceria walau terus berdesakan saat pengambilan hewan qurban tiba. Tidak masalah bajuku berlumuran darah serta tanganku kotor oleh kotoran hewan-hewan itu, yang terpenting aku bisa berbagi dengan mereka yang antusias menunggunya.